BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah di Amerika Latin telah berubah sejak abad
ke-19. Pada awal abad ke-19, banyak koloni Amerika Latin merdeka dan menjadi
republik. Republik ini mendukung ide-ide demokrasi, namun dalam kenyataannya
mereka cenderung menciptakan kembali sistem kolonial dalam bentuk baru. Para
pemimpin republik baru itu tidak memiliki pengalaman dan kecakapan untuk
menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang serius. Di beberapa negara
Amerika Latin, diktator militer merebut kekuasaan pemerintah. Negara-negara lain
diperintah oleh segelintir keluarga kuat yang menggunakan posisi mereka untuk
meningkatkan kekayaan pribadinya. Selama awal dan pertengahan abad ke-20,
protes anti-pemerintah dan revolusi berdarah terjadi di seluruh wilayah Amerika
Latin. Pemimpin sipil dan militer mencoba untuk menciptakan stabilitas politik
di wilayah tersebut.
Seperti kasus di Indonesia pada masa Orde Baru, sebuah
filosofi pembangunan baru disusun untukmemperkuat klaim-klaim organik negara
dan para pejabatnya terhadap otoritas yang tidak akuntabel. Dikatakan bahwa
pemerintahan oleh “teknokrat” dan “para ahli” adalah hal yang perlu, sampai
pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia membuat para warganegara siap untuk
berdemokrasi. Bersamaan dengan itu, organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk
memperoklamasikan prinsip atau agenda politik apapun yang berlawanan dengan
klaim negara sebagai perwujudan negara sebagai kepentingan umum nasional.
Lihat: Ibid., hlm. 117-118. Masuknya militer di Indonesia dalam hal bisnis
sebenarnya sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Perjuangan
untuk meraih kemerdekaan, selain dilakukan melalui partai partai politik yang
mulai muncul pada zaman pergerakan nasional ( 1908-1942) hal itu juga di
lakukan oleh orang orang yang melakukan gerakan dengan senjata yang nantinya
merupakan cikal bakal TNI.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana awal
munculnya konfigurasi politik di Amerika Latin pada Abad ke-19 ?
2.
Bagaiman jalannya
militerisasi di Amerika Latin kala itu ?
3.
Bagaimana jalannya
militerisasi di Indonesia ?
4.
Bagaimana peran
militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui awal
munculnya konfigurasi politik di Amerika Latin pada Abad ke-19.
2.
Memahami jalannya
militerisasi di Amerika Latin kala itu.
3.
Mengklasifikasi
bagaimana jalannya militerisasi di Indonesia.
4.
Menyimpulkan
Bagaimana peran militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini.
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Awal Munculnya Konfigurasi Politik di
Amerika Latin
Pada tahun 1970-an di Amerika Latin mulai muncul
konfigurasi politik yang dikenal sebagai birokrasi
otoritarian (birocratic authoritarian). Bentuk pemerintahan ini
pertama kali dikemukakan oleh Juan Linz dalam studinya mengenai Spanyol, yang
kemudian dikembangkan oleh Gillermo o’Donnel untuk memahami realitas masyarakat
yang sedang melakukan pembangunan ekonomi politik terutama di Amerika Latin.
Rezim birokratik otoritarian ini bertujuan untuk membuat keputusan yang
sederhana, tepat, tidak bertele-tele, dan efisien yang tidak memungkinkan
adanya proses tawar menawar yang lama, melainkan mencukupkan diri pada
pendekatan “teknokratik-birokratik” dengan pertimbangan semata-mata
“efisiensi.” Ada faktor ketergantungan kepada sistem internasional dan upaya-upaya
kekacauan dalam negeri yang menggiring kepada argumen penempatan stabilitas
sebagai kunci utama untuk mengejar ketertinggalan melalui pembangunan ekonomi
yang cepat. Rezim ini didukung oleh unsur-unsur koalisi dari kelompok-kelompok
yang mungkin dapat mendukung proses pembangunan yang efisien yaitu militer,
teknokrat sipil, dan pemilik modal baik domestik maupun internasional. Karakteristik dari rezim birokratik otoritarian itu
mencakup 5 hal utama, yaitu (1) pemerintah dipimpin oleh militer yang bekerjasama
dengan teknokrat sipil ; (2) pemerintah
didukung oleh pemilik modal domestik yang bersama-sama pemerintah bekerjasama
dengan masyarakat internasional ; (3)
pendekatan kebijakannya didominasi oleh pendekatan teknokratik dan menjauhi
proses “bargaining” yang bertele-tele antara kelompok-kelompok
kepentingan ; (4) massa demobilisasi ; dan (5) pemerintah menggunakan tindakan represif untuk
mengontrol oposisi. Lepas dari adanya bentuk-bentuk otoritarian
yang bersifat khusus, pada prinsipnya ciri khas dari konfigurasi politik
demikian adalah sama, yaitu hukum disingkirkan dari kancah kekuasaan.
Pendudukan hukum dalam posisi yang mampu mengimbangi
kekuatan politik amat nampak pada saat negara melakukan pengendalian konflik.
Dalam sistem negara yang demokrasi, pengendalian konflik dilakukan dengan
ciri-ciri sebagai berikut ; (1) Negara melakukan pembatasan luas, intensitas
dan ketampakkan konflik politik secara persuasif, tidak memakai cara-cara
represif maupun cara represif yang semu; (2) Negara melakukan pembatasan
terhadap sosialisasi konflik politik dengan cara institusional (sejalan dengan
aturan main konstitusi dan berdemokrasi); (3) Negara mengembangkan privatisasi
konflik politik melalui cara-cara yang institusional persuasive; (4) Negara
memberikan sanksi kepada partisipan konflik yang berasal dari masyarakat
(sanksi eksternal) maupun kepada aparatur di dalam tubuh negara (sanksi
internal) yang dianggap terlibat di dalam konflik; dan (5) mekanisme pemberian
sanksi yang dipakai negara adalah mekanisme yang legal, yaitu melalui saluran
dan perangkat hukum yang ada serta bersifat fair.
Sebaliknya dalam negara yang otoritarian, manajemen
pengendalian konflik politik dilakukan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
Negara melakukan pembatasan, intensitas, dan ketampakan konflik politik secara
represif yang semu (quasi represi); (2) Negara melakukan pembatasan
terhadap sosialisasi konflik politik melalui cara-cara represi semu (quasi
represi) dan noninstitusoional; (3) Negara mengembangkan privatisasi
konflik politik dengan cara-cara yang non institusional dan represif; (4)
Negara memberikan sanksi kepada partisipan konflik yang berasal dari masyarakat
(sanksi eksternal); dan (5) Mekanisme pemberian sanksi yang dipakai negara
adalah mekanisme legal yang semu (quasi legal) yaitu melalui hukum dan
perangkat hukum yang ada serta bersifat “unfair.” Dengan memahami bagaimana sistem pemerintahan melakukan
manajemen konflik politik, sebenarnya dapat memberikan landasan mengenai
bekerjanya pengadilan dalam lingkungan negara yang otoritarian tersebut.
Seperti ditulis oleh Peter Hakim dan Abraham Lowenthal ketika merujuk kondisi
umum di negara Amerika Latin di mana :
“Legislatures
and judicial systems in much of Latin America still lack auton-omy, stature,
resources and competence needed to carry out all of their constitu-tional
functions fully. Courts are overbur-dened and their proceedings, both crimi-nal
and civil, are routinely delayed for years. Judges are, for the most part,
poorly trained and paid, and they lack the funding to conduct investigations
and ad-minister justice effectively. In many places, judicial decisions are
heavily in-fluenced by political considerations, intimidation or outright
corruption.”
Perdebatan
tentang pengaruh sistem politik yang otoriter terhadap pelaksanaan fungsi
peradilan dalam rangka penegakan hukum memiliki sejarah yang panjang. Secara
positif saja dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik atau
setidaknya ada korelasi antara politik dan hukum sebagaimana dikatakan oleh
Habermas. Dalam satu pandangan yang ekstrem dari kalangan Critical Legal
Studies, hukum dapat jatuh ke pengaruh politik dan norma-norma hukum dapat
dijadikan sejalan dengan kepentingan pemegang kekuasaan politik.
2.2 Militerisasi di Amerika Latin
Pemerintah di Amerika Latin telah berubah sejak abad
ke-19. Pada awal abad ke-19, banyak koloni Amerika Latin merdeka dan menjadi
republik. Republik ini mendukung ide-ide demokrasi, namun dalam kenyataannya
mereka cenderung menciptakan kembali sistem kolonial dalam bentuk baru. Para
pemimpin republik baru itu tidak memiliki pengalaman dan kecakapan untuk
menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang serius. Di beberapa negara
Amerika Latin, diktator militer merebut kekuasaan pemerintah. Negara-negara
lain diperintah oleh segelintir keluarga kuat yang menggunakan posisi mereka
untuk meningkatkan kekayaan pribadinya. Selama awal dan pertengahan abad ke-20,
protes anti-pemerintah dan revolusi berdarah terjadi di seluruh wilayah Amerika
Latin. Pemimpin sipil dan militer mencoba untuk menciptakan stabilitas politik
di wilayah tersebut. Namun dalam prosesnya, banyak pemimpin yang membatasi
hak-hak sipil rakyat Amerika Latin. Meski demikian, pada awal tahun 2000-an, sebagian
besar negara Amerika Latin telah mendirikan pemerintahan demokratis.
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan
faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah.
Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam
organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan
yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer
“military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan dengan
organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan politik
atau partai – partai politik.
Semula, semua golongan militer di Amerika Latin
berkeinginan langsung untuk memainkan fungsi politiknya pula. Namun setelah
melalui beberapa kesulitan, akhirnya fungsi politik golongan militer dapat
berangsur – angsur berubah menjadi fungsi militer professional hingga sekarang.
Timbullah profesionalisme militer yang sekarang ada di Meksiko, dimana
kekuasaan pemerintahan berada di tangan kekuatan sipil dan kekuasaan militer
hanya merupakan unsur pembantu keamanan kepolisian.
Namun berbeda dengan Negara – Negara di Amerika Latin
lainnya. Mereka berkeinginan terus mempertahankan politiknya di sektor – sektor
social – politik tanpa melepaskan kedudukan dan fungsinya sebagai militer.
Intervensi militer ini memiliki beberapa motivasi diantaranya :
1.
Motif politik,
yakni rasa tanggung jawab untuk mengatasi suatu kemacetan politik yang
disebabkan oleh pergolakan dari partai – partai politik.
2.
Motif ekonomis,
yaitu ingin menyelamatkan bangsa dari kehancuran ekonomi. Bahkan ada pula yang menggunakan
motif ekonomis-materiil untuk kepentingan pribadi.
3.
Didukung golongan
sipil yang memiliki kepentingan ekonomis-materiil tertentu, karena bila mereka
yang melakukannya sendiri, dirasa kurang kuat.
4.
Suatu tradisi, yakni tradisi adanya intervansi
militer atau coup – coup militer di Amerika Latin.
Coup ini dimulai dengan telepon dari jenderal infanteri
kepada menteri pertahanan bahwa ia akan melakukan coup dan memerlukan dukungan
dari menteri. Menteri pura – pura tidak tahu, tapi memberikan bantuan. Kemudian
terjadi tembak menembak di istana, Presiden ditahan, terjadi perubahan kabinet
atau dibentuk junta militer. Si menteri tetap selamat dan jederal pemberontakpun
naik panggung pemerintahan dan terjadilah pembagian rejeki.
Coup ini masih diterima masyarakat sebagai salah satu cara untuk melakukan
perubahan politik secara drastis sebab :
1)
Rakyatpun telah
terbiasa, seolah – olah merupakan tradisi.
2)
Golongan militer memilki akar yang sangat kuat
dalam masyarakat, karena tanpa dukungan mereka coup tidak akan berhasil.
3)
Di kalangan
masyarakat luas ada pandangan bahwa golongan militer adalah pengemban cita –
cita nasional yang murni, pengemban nasionalisme dan patriotism, hingga entah
bagaimana mereka perlu didukung.
4)
Rakyat yang umumnya
melihat golongan militer sebagai suati “kubu terhadap ancaman Komunisme”.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa militerisme Amerika
Latin mula – mula mengambil bentuk militerisme dari suatu Negara-kepolisian, di
mana golongan militer dipergunakan oleh pemerintah untuk menghancurkan golongan
anti-pemerintah. Namun lambat laun timbul bentuk – bentuk baru yakni :
a. Militerisme fasis
Dengan timbulnya Fasisme Italia dan Naziisme Jerman, pengaruhnya
menjalar pula ke Amerika Latin, dan mulai memasuki tubuh Angkatan Perang. Hal
ini terjadi di kalangan militer Bolivia, Brasil dan Argentina.
b. Militerisme tenokrat
Didukung oleh perwira – perwira muda yang maju karena
hasil pendidikan luar negeri, terutama dari Amerika Serikat Militerisme di
Amerika Latin lebih mirip dengan apa yang ada di Spanyol, karena kesamaan
sejarah. Militerisme Amerika Latin lahir dalam keadaan dimana rakyat tidak
memilki sarana untuk menyalurkan tuntutan politik dan timbulnya oligharki dalam
pemilikan tanah, yang memaksa golongan militer tampil ke depan melalui seorang
caudillo, yakni seorang pemimpin/diktator militer yang memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat dalam mencapai ketertiban umum dalam abad 19 dan awal abad 20.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua macam
lembaga militer, yakni :
1)
Bersifat politis,
yakni dimana golongan militer memandang dirinya juga berfungsi politik dalam
arti baik secara langsung maupun tidak langsung ikut dalam proses penentuan
kebijaksanaan politik bangsa.
2)
Bersifat
professional, yakni golongan iliter dibatasi hanya pada profesi militer teknis
dan tunduk pada pemerintahan atau pimpinan politik golongan sipil. Seperti
Meksiko yang telah memiliki militer bersifat professional.
Sedangkan untuk Angakatan Perang di Amerika Latin terdiri
dari beberapa macam. Ada yang memiliki hanya dua structural yakni Angkatan
Perang tetap dan kekuatan para militer yang keduanya dibawah pengawasan
pemerintah. Kemudian ada pula yang memiliki tiga pola, yakni ditambah dengan
“private army” yang dibiayai atau diorganisasikan oleh tuan – tuan tanah besar
atau pejabat tinggi. Serta ada yang berpola empat, dengan tambahan pasuka
gerilya, baik yang berada di bawah pengawasan pemerintah, maupun mereka yang
berada di luarnya.
Satu – satunya yang tidak mempunyai Angkatan Perang
adalah Costa Rica (sejak 1948), sedang Panama walaupun juga tidak memilki, tapi
masih mempunyai “Nationl guard” dan golongan tersebut besar peranannya dalam
penentuan kebijaksanaan pemerintah.
2.3 Militerisasi di Indonesia
a.
Jalannya militerisme tenokrat
Militer Indonesia yang mulai terjun ke dunia bisnis sejak
era revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia ini sebenarnya di pengaruhi oleh
doktrin Dwi Fungsi ABRI yang di cetuskan oleh Jenderal Nasution . Tugas utama
militer adalah berperang membela kedaulatan negara dan menjaga keamanan serta
menjaga stabilitas negara dari pihak pihak yang berusaha untuk mengganggu ke
tiga hal tersebut, tetapi pada kenyataannya profesionalisme militer tersebut
sering tidak tercapai karena militer lebih suka terjun kedunia bisnis yang
lebih menjanjikan dalam menghadapi masa depan karena pendapatan mereka bisa
lebih terjamin dari pada hanya mengurusi keamanan negara dan stabilitas dari
ancaman makar, dll.
Sebenarnya tugas militer itu dalam arti sederhana adalah
untuk mendukung kepentingan dan aspirasi masyarakat di bawah kepemimpinan
sipil. Tetapi pada kenyatannya yang terjadi di Indonesia tidak seperti itu,
militer yang terjun kedunia bisnis dan berorientasi komersial, dengan tujuan
menambag pendapatan militer, kemudian lambat laun hal itu di salahgunakan untuk
kepentingan pribadi para perwira tinggi militer Orde Baru, dengan mengadakan
kerja sama dengan pengusaha Cina, dll, membuat mereka lebih betah dalam dunia
bisnis daripada memimpin pasukan pasukan militer tersebut.
Selain itu, etos komersial dengan cepat menjalar ke luar
lingkungan perwira-perwira yang langsung berurusan dengan kepemimpiunan dengan
perusahaan-perusahaan angkatan bersanjata. Demikian pula kepada perwira yang
diangkat untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintahan, lalu terlibat
bersama rekan-rekan keturunan Cina dalam kegiatan-kegiatan perusahaan pribadi,
baik atas nama pengusaha keturunan Cina maupun atas nama keluarganya. Sedangkan
para panglima daerah militer tidak jarang memiliki sumber dana pribadi yang
mereka dapatkan dari para pengusaha, khususnya keturunan Cina.
b.
Dampak-dampak akibat militerisme tenokrat
Dampak
umum dari menurunnya profesionalisme militer akibat, militer
terjun ke dunia bisnis adalah militer dalam hal ini TNI mendapat legistimasi
dari rakyat karena berperan besar dalam pembangunan ekonomi, walaupun
sebenarnya militer mendapat dana juga dari luar APBN, kerjasama antara
pengusaha asing dengan perwira militer sebenarnya sangat merugikan rakyat kecil
dan prajurit militer secara keseluruhan yang menimbulkan biaya ekonomi yang
tinggi, banyak perwira militer lain yang sebenarnya iri dengan kerja sama
militer dengan pengusaha tersebut, dan untuk mengurangi rasa tidak suka
tersebut, mereka yang terjun kedunia bisnis kemudian membantu mereka yang
terjun ke lapangan.
Dampak
khusus dari orintasi komersial yang
di lakukan militer yang paling signifikan adalah menurunnya profesionalisme
militer dalam menjalankan tugas utamanya menjaga keamanan dan stabilitas
negara, karena mereka lebih asyik dalam melakukan bisnis militer yang
menggiurkan dari segi pendapatan, seperti mengelola BUMN, yayasan, koperasi,
dll. Bisnis telah menggeser tugas pokok militer, yaitu menjaga keamanan dengan
baik. Dari hal tersebut sudah membuktikan bahwa untuk menjadi militer yang
profesional sangat sulit untuk mempertahankannya.
Karena hal tersebut diatas reformasin ekonomi, sosial
politik di Indonesia sebenarnya sangat sulit di lakukan karena militer masih
dengan bebas melakukan bisnis yang kapitalis hanya menguntungkan diri mereka
pribadi dan melupakan kesejateraan prajurit di bawahnya dan masyarakat bawah,
hal ini sebenarnya bisa di lakukan kalau Dwi Fungsi ABRI di hilangkan dan peran
ABRI di kembalikan seperti semula yaitu menjaga stabilitas, keamanan dari
berbagai ancaman makar dan lain lain.
2.4 Peran
militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini.
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan
faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah.
Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam
organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan
yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer
“military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan
dengan organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan
politik atau partai – partai politik.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua macam
lembaga militer, yakni :
1.
Bersifat politis,
yakni dimana golongan militer memandang dirinya juga berfungsi politik dalam
arti baik secara langsung maupun tidak langsung ikut dalam proses penentuan
kebijaksanaan politik bangsa.
2.
Bersifat
professional, yakni golongan iliter dibatasi hanya pada profesi militer teknis
dan tunduk pada pemerintahan atau pimpinan politik golongan sipil. Seperti
Meksiko yang telah memiliki militer bersifat professional.
Semula, semua golongan militer di Amerika Latin
berkeinginan langsung untuk memainkan fungsi politiknya pula. Namun setelah
melalui beberapa kesulitan, akhirnya fungsi politik golongan militer dapat
berangsur – angsur berubah menjadi fungsi militer professional hingga sekarang. Timbullah
profesionalisme militer yang sekarang ada di Meksiko, dimana kekuasaan
pemerintahan berada di tangan kekuatan sipil dan kekuasaan militer hanya
merupakan unsur pembantu keamanan kepolisian.
Seperti kasus di Indonesia pada masa Orde Baru, sebuah
filosofi pembangunan baru disusun untuk memperkuat klaim-klaim organik negara
dan para pejabatnya terhadap otoritas yang tidak akuntabel. Dikatakan bahwa
pemerintahan oleh “teknokrat” dan “para ahli” adalah hal yang perlu, sampai
pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia membuat para warganegara siap untuk
berdemokrasi. Bersamaan dengan itu, organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk
memperoklamasikan prinsip atau agenda politik apapun yang berlawanan dengan
klaim negara sebagai perwujudan negara sebagai kepentingan umum nasional.
Dari gejala di atas, seperti apa yang sudah kita
cerminkan dengan keadaan militer yang ada di Amerika Latin, maka tantangan pelaksanaan fungsi
pertahanan-keamanan dalam konteks kemacetan sistem, kiranya tidak dapat
dilepaskan dari situasi umum yang ditandai dengan ciri khas adanya krisis
akibat dari perubahan sosial dan mobilisasi kelompok-kelompok baru yang
berlangsung cepat serta dihadapkan dengan adanya pengembangan institusi politik
yang berjalan lamban. Inilah menjadi perhatian kita bersama. Dengan adanya
penghujatan terus menerus kepada TNI dalam perannya dimasyarakat, akan
mengakibatkan Indonesia menuju tempat jurang yang dalam untuk melakukan bunuh
diri karena walau bagaimanapun peran TNI baik sebagai prajurit maupun sebagai
manusia dimasyarakat saat ini sangat dibutuhkan terlebih. Kedepannya kita
berharap TNI dapat selalu mengaktualisasikan diri terhadap perannya di
masyarakat. Semoga mencerahkan.
Reformasi yang dilakukan oleh militer saat ini memang
belumlah secara menyeluruh, di mana fakta sosial yang berbicara menunjukkan
bahwa ternyata peran militer dalam mempengaruhi kebijakan masih cukup besar.
Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, di mana
penguasa yang saat ini berlatar belakang miter masih menggunakan intervensi
dalam bentuk kekerasan aparat dalam menstabilkan konstelasi politik yang ada,
misalnya kasus-kasus yang terjadi di Aceh dan di Papua tidak terlepas dari
rasionalisasi tugas dan fungsi militer dalam menciptakan kondisi aman dan damai,
sehingga dengan mudahnya kekerasan aparat terjadi di mana-mana. Selain itu
juga, dapat kita lihat bahwa fungsi output yang dijalankan saat ini belum
sesuai dengan kondisi yang seharusnya, di mana ketika lahir kebijakan
penggusuran, penertiban pedagan kaki lima, dan sengketa tanah seperti yang
terjadi di Makassar, dapat kita lihat bahwa masih tingginya peran militer dalam
mempengaruhi konstelasi politik pemerintahan yang terbangun saat ini.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga -
lembaga politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi
untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita
pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan
sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya
sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian
tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan (
state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat (
society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan
Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan
dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik.
Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat
ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik
sudah tidak diperluakan lagi.
Memang kita tidak dapat selamanya menyalahkan militer
sebagai faktor utama keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sebagai
warga sipil seharusnya juga menjankan fungsi control dengan baik, sehingga
konstelasi politik yang terbangun dapat stabil. Selain itu juga, hendaknya
diperjelas bahkan lebih dipertegas lagi posisi dan peran militer dalam sistem
politik Indonesia agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus
professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik
pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di
dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan
demikian, jikalau hal di atas dijalankan sebagaimana mestinya, maka jalannya
pemerintahan dan birokrasi di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah
konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Simpulan
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan
faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah.
Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam
organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan
yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer
“military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan
dengan organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan
politik atau partai – partai politik. Hal ini mempunyai keterkaitan dengan jalannya Militer di
Amerika Latin dan di Indonesia, yang dapat dikatakan sama mengenai fungsi
Militernya.
Militer Indonesia yang mulai terjun ke dunia bisnis sejak
era revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia ini sebenarnya di pengaruhi oleh
doktrin Dwi Fungsi ABRI yang di cetuskan oleh Jenderal Nasution . Tugas utama
militer adalah berperang membela kedaulatan negara dan menjaga keamanan serta
menjaga stabilitas negara dari pihak pihak yang berusaha untuk mengganggu ke
tiga hal tersebut, tetapi pada kenyataannya profesionalisme militer tersebut
sering tidak tercapai karena militer lebih suka terjun kedunia bisnis yang
lebih menjanjikan dalam menghadapi masa depan karena pendapatan mereka bisa
lebih terjamin dari pada hanya mengurusi keamanan negara dan stabilitas dari
ancaman makar, dll.
Seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer
harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan
politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus
masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung.
Dengan demikian, jikalau hal di atas dijalankan sebagaimana mestinya, maka
jalannya pemerintahan dan birokrasi di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan
amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Eep Saefullah Fatah,
2010, Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik
Malari, Petisi 50, dan Tanjung Priok, Jakarta, Penerbit Burung Merak Press,
hlm. 38-39.
Ibid., hlm. 117-118.
Mukmin,
Hidayat. 1980. Pergolakan di Amerika
Latin dalam Dasawarsa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia
Iswandi. 2000. Bisnis Militer Orde Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya (http://thafransisca.wordpress.com/2011/08/17/bisnismilite/)
Peter Hakim and Abraham
Lowenthal, “Latin America’s Fragile Democracies,” Journal of Democracy,
Summer, 1991, hlm. 22.