Selasa, 10 Juni 2014

MILITERISME di AMERIKA LATIN & INDONESIA (Orde Baru)



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Pemerintah di Amerika Latin telah berubah sejak abad ke-19. Pada awal abad ke-19, banyak koloni Amerika Latin merdeka dan menjadi republik. Republik ini mendukung ide-ide demokrasi, namun dalam kenyataannya mereka cenderung menciptakan kembali sistem kolonial dalam bentuk baru. Para pemimpin republik baru itu tidak memiliki pengalaman dan kecakapan untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang serius. Di beberapa negara Amerika Latin, diktator militer merebut kekuasaan pemerintah. Negara-negara lain diperintah oleh segelintir keluarga kuat yang menggunakan posisi mereka untuk meningkatkan kekayaan pribadinya. Selama awal dan pertengahan abad ke-20, protes anti-pemerintah dan revolusi berdarah terjadi di seluruh wilayah Amerika Latin. Pemimpin sipil dan militer mencoba untuk menciptakan stabilitas politik di wilayah tersebut.
Seperti kasus di Indonesia pada masa Orde Baru, sebuah filosofi pembangunan baru disusun untukmemperkuat klaim-klaim organik negara dan para pejabatnya terhadap otoritas yang tidak akuntabel. Dikatakan bahwa pemerintahan oleh “teknokrat” dan “para ahli” adalah hal yang perlu, sampai pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia membuat para warganegara siap untuk berdemokrasi. Bersamaan dengan itu, organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk memperoklamasikan prinsip atau agenda politik apapun yang berlawanan dengan klaim negara sebagai perwujudan negara sebagai kepentingan umum nasional. Lihat: Ibid., hlm. 117-118. Masuknya militer di Indonesia dalam hal bisnis sebenarnya sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan, selain dilakukan melalui partai partai politik yang mulai muncul pada zaman pergerakan nasional ( 1908-1942) hal itu juga di lakukan oleh orang orang yang melakukan gerakan dengan senjata yang nantinya merupakan cikal bakal TNI.

1.2       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana awal munculnya konfigurasi politik di Amerika Latin pada Abad ke-19 ?
2.      Bagaiman jalannya militerisasi di Amerika Latin kala itu ?
3.      Bagaimana jalannya militerisasi di Indonesia ?
4.      Bagaimana peran militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini ?

1.3       Tujuan
1.      Mengetahui awal munculnya konfigurasi politik di Amerika Latin pada Abad ke-19.
2.      Memahami jalannya militerisasi di Amerika Latin kala itu.
3.      Mengklasifikasi bagaimana jalannya militerisasi di Indonesia.
4.      Menyimpulkan Bagaimana peran militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini.









BAB 2. PEMBAHASAN
2.1       Awal Munculnya Konfigurasi Politik di Amerika Latin
Pada tahun 1970-an di Amerika Latin mulai muncul konfigurasi politik yang dikenal sebagai birokrasi otoritarian (birocratic authoritarian). Bentuk pemerintahan ini pertama kali dikemukakan oleh Juan Linz dalam studinya mengenai Spanyol, yang kemudian dikembangkan oleh Gillermo o’Donnel untuk memahami realitas masyarakat yang sedang melakukan pembangunan ekonomi politik terutama di Amerika Latin. Rezim birokratik otoritarian ini bertujuan untuk membuat keputusan yang sederhana, tepat, tidak bertele-tele, dan efisien yang tidak memungkinkan adanya proses tawar menawar yang lama, melainkan mencukupkan diri pada pendekatan “teknokratik-birokratik” dengan pertimbangan semata-mata “efisiensi.” Ada faktor ketergantungan kepada sistem internasional dan upaya-upaya kekacauan dalam negeri yang menggiring kepada argumen penempatan stabilitas sebagai kunci utama untuk mengejar ketertinggalan melalui pembangunan ekonomi yang cepat. Rezim ini didukung oleh unsur-unsur koalisi dari kelompok-kelompok yang mungkin dapat mendukung proses pembangunan yang efisien yaitu militer, teknokrat sipil, dan pemilik modal baik domestik maupun internasional. Karakteristik dari rezim birokratik otoritarian itu mencakup 5 hal utama, yaitu (1) pemerintah dipimpin oleh militer yang bekerjasama dengan teknokrat sipil ; (2) pemerintah didukung oleh pemilik modal domestik yang bersama-sama pemerintah bekerjasama dengan masyarakat internasional ; (3) pendekatan kebijakannya didominasi oleh pendekatan teknokratik dan menjauhi proses “bargaining” yang bertele-tele antara kelompok-kelompok kepentingan ; (4) massa demobilisasi ; dan (5) pemerintah menggunakan tindakan represif untuk mengontrol oposisi.  Lepas dari adanya bentuk-bentuk otoritarian yang bersifat khusus, pada prinsipnya ciri khas dari konfigurasi politik demikian adalah sama, yaitu hukum disingkirkan dari kancah kekuasaan.
Pendudukan hukum dalam posisi yang mampu mengimbangi kekuatan politik amat nampak pada saat negara melakukan pengendalian konflik. Dalam sistem negara yang demokrasi, pengendalian konflik dilakukan dengan ciri-ciri sebagai berikut ; (1) Negara melakukan pembatasan luas, intensitas dan ketampakkan konflik politik secara persuasif, tidak memakai cara-cara represif maupun cara represif yang semu; (2) Negara melakukan pembatasan terhadap sosialisasi konflik politik dengan cara institusional (sejalan dengan aturan main konstitusi dan berdemokrasi); (3) Negara mengembangkan privatisasi konflik politik melalui cara-cara yang institusional persuasive; (4) Negara memberikan sanksi kepada partisipan konflik yang berasal dari masyarakat (sanksi eksternal) maupun kepada aparatur di dalam tubuh negara (sanksi internal) yang dianggap terlibat di dalam konflik; dan (5) mekanisme pemberian sanksi yang dipakai negara adalah mekanisme yang legal, yaitu melalui saluran dan perangkat hukum yang ada serta bersifat fair.
Sebaliknya dalam negara yang otoritarian, manajemen pengendalian konflik politik dilakukan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Negara melakukan pembatasan, intensitas, dan ketampakan konflik politik secara represif yang semu (quasi represi); (2) Negara melakukan pembatasan terhadap sosialisasi konflik politik melalui cara-cara represi semu (quasi represi) dan noninstitusoional; (3) Negara mengembangkan privatisasi konflik politik dengan cara-cara yang non institusional dan represif; (4) Negara memberikan sanksi kepada partisipan konflik yang berasal dari masyarakat (sanksi eksternal); dan (5) Mekanisme pemberian sanksi yang dipakai negara adalah mekanisme legal yang semu (quasi legal) yaitu melalui hukum dan perangkat hukum yang ada serta bersifat “unfair.” Dengan memahami bagaimana sistem pemerintahan melakukan manajemen konflik politik, sebenarnya dapat memberikan landasan mengenai bekerjanya pengadilan dalam lingkungan negara yang otoritarian tersebut. Seperti ditulis oleh Peter Hakim dan Abraham Lowenthal ketika merujuk kondisi umum di negara Amerika Latin di mana :
“Legislatures and judicial systems in much of Latin America still lack auton-omy, stature, resources and competence needed to carry out all of their constitu-tional functions fully. Courts are overbur-dened and their proceedings, both crimi-nal and civil, are routinely delayed for years. Judges are, for the most part, poorly trained and paid, and they lack the funding to conduct investigations and ad-minister justice effectively. In many places, judicial decisions are heavily in-fluenced by political considerations, intimidation or outright corruption.”
            Perdebatan tentang pengaruh sistem politik  yang otoriter terhadap pelaksanaan fungsi peradilan dalam rangka penegakan hukum memiliki sejarah yang panjang. Secara positif saja dapat dikatakan bahwa hukum merupakan produk politik atau setidaknya ada korelasi antara politik dan hukum sebagaimana dikatakan oleh Habermas. Dalam satu pandangan yang ekstrem dari kalangan Critical Legal Studies, hukum dapat jatuh ke pengaruh politik dan norma-norma hukum dapat dijadikan sejalan dengan kepentingan pemegang kekuasaan politik.
2.2       Militerisasi di Amerika Latin
Pemerintah di Amerika Latin telah berubah sejak abad ke-19. Pada awal abad ke-19, banyak koloni Amerika Latin merdeka dan menjadi republik. Republik ini mendukung ide-ide demokrasi, namun dalam kenyataannya mereka cenderung menciptakan kembali sistem kolonial dalam bentuk baru. Para pemimpin republik baru itu tidak memiliki pengalaman dan kecakapan untuk menangani masalah-masalah sosial dan ekonomi yang serius. Di beberapa negara Amerika Latin, diktator militer merebut kekuasaan pemerintah. Negara-negara lain diperintah oleh segelintir keluarga kuat yang menggunakan posisi mereka untuk meningkatkan kekayaan pribadinya. Selama awal dan pertengahan abad ke-20, protes anti-pemerintah dan revolusi berdarah terjadi di seluruh wilayah Amerika Latin. Pemimpin sipil dan militer mencoba untuk menciptakan stabilitas politik di wilayah tersebut. Namun dalam prosesnya, banyak pemimpin yang membatasi hak-hak sipil rakyat Amerika Latin. Meski demikian, pada awal tahun 2000-an, sebagian besar negara Amerika Latin telah mendirikan pemerintahan demokratis.
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah. Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer “military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan dengan organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan politik atau partai – partai politik.
Semula, semua golongan militer di Amerika Latin berkeinginan langsung untuk memainkan fungsi politiknya pula. Namun setelah melalui beberapa kesulitan, akhirnya fungsi politik golongan militer dapat berangsur – angsur berubah menjadi fungsi militer professional hingga sekarang. Timbullah profesionalisme militer yang sekarang ada di Meksiko, dimana kekuasaan pemerintahan berada di tangan kekuatan sipil dan kekuasaan militer hanya merupakan unsur pembantu keamanan kepolisian.
Namun berbeda dengan Negara – Negara di Amerika Latin lainnya. Mereka berkeinginan terus mempertahankan politiknya di sektor – sektor social – politik tanpa melepaskan kedudukan dan fungsinya sebagai militer. Intervensi militer ini memiliki beberapa motivasi diantaranya :
1.                  Motif politik, yakni rasa tanggung jawab untuk mengatasi suatu kemacetan politik yang disebabkan oleh pergolakan dari partai – partai politik.
2.                  Motif ekonomis, yaitu ingin menyelamatkan bangsa dari kehancuran  ekonomi. Bahkan ada pula yang menggunakan motif ekonomis-materiil untuk kepentingan pribadi.
3.                  Didukung golongan sipil yang memiliki kepentingan ekonomis-materiil tertentu, karena bila mereka yang melakukannya sendiri, dirasa kurang kuat.
4.                   Suatu tradisi, yakni tradisi adanya intervansi militer atau coup – coup militer di Amerika Latin.
Coup ini dimulai dengan telepon dari jenderal infanteri kepada menteri pertahanan bahwa ia akan melakukan coup dan memerlukan dukungan dari menteri. Menteri pura – pura tidak tahu, tapi memberikan bantuan. Kemudian terjadi tembak menembak di istana, Presiden ditahan, terjadi perubahan kabinet atau dibentuk junta militer. Si menteri tetap selamat dan jederal pemberontakpun naik panggung pemerintahan dan terjadilah pembagian rejeki.
Coup ini masih diterima masyarakat  sebagai salah satu cara untuk melakukan perubahan politik secara drastis sebab :
1)                  Rakyatpun telah terbiasa, seolah – olah merupakan tradisi.
2)                   Golongan militer memilki akar yang sangat kuat dalam masyarakat, karena tanpa dukungan mereka coup tidak akan berhasil.
3)                  Di kalangan masyarakat luas ada pandangan bahwa golongan militer adalah pengemban cita – cita nasional yang murni, pengemban nasionalisme dan patriotism, hingga entah bagaimana mereka perlu didukung.
4)                  Rakyat yang umumnya melihat golongan militer sebagai suati “kubu terhadap ancaman Komunisme”.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa militerisme Amerika Latin mula – mula mengambil bentuk militerisme dari suatu Negara-kepolisian, di mana golongan militer dipergunakan oleh pemerintah untuk menghancurkan golongan anti-pemerintah. Namun lambat laun timbul bentuk – bentuk baru yakni :
a.       Militerisme fasis
Dengan timbulnya Fasisme Italia dan Naziisme Jerman, pengaruhnya menjalar pula ke Amerika Latin, dan mulai memasuki tubuh Angkatan Perang. Hal ini terjadi di kalangan militer Bolivia, Brasil dan Argentina.
b.      Militerisme tenokrat
Didukung oleh perwira – perwira muda yang maju karena hasil pendidikan luar negeri, terutama dari Amerika Serikat Militerisme di Amerika Latin lebih mirip dengan apa yang ada di Spanyol, karena kesamaan sejarah. Militerisme Amerika Latin lahir dalam keadaan dimana rakyat tidak memilki sarana untuk menyalurkan tuntutan politik dan timbulnya oligharki dalam pemilikan tanah, yang memaksa golongan militer tampil ke depan melalui seorang caudillo, yakni seorang pemimpin/diktator militer yang memaksakan kehendaknya terhadap rakyat dalam mencapai ketertiban umum dalam abad 19 dan awal abad 20.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua macam lembaga militer, yakni :
1)                     Bersifat politis, yakni dimana golongan militer memandang dirinya juga berfungsi politik dalam arti baik secara langsung maupun tidak langsung ikut dalam proses penentuan kebijaksanaan politik bangsa.
2)                     Bersifat professional, yakni golongan iliter dibatasi hanya pada profesi militer teknis dan tunduk pada pemerintahan atau pimpinan politik golongan sipil. Seperti Meksiko yang telah memiliki militer bersifat professional.
Sedangkan untuk Angakatan Perang di Amerika Latin terdiri dari beberapa macam. Ada yang memiliki hanya dua structural yakni Angkatan Perang tetap dan kekuatan para militer yang keduanya dibawah pengawasan pemerintah. Kemudian ada pula yang memiliki tiga pola, yakni ditambah dengan “private army” yang dibiayai atau diorganisasikan oleh tuan – tuan tanah besar atau pejabat tinggi. Serta ada yang berpola empat, dengan tambahan pasuka gerilya, baik yang berada di bawah pengawasan pemerintah, maupun mereka yang berada di luarnya.
Satu – satunya yang tidak mempunyai Angkatan Perang adalah Costa Rica (sejak 1948), sedang Panama walaupun juga tidak memilki, tapi masih mempunyai “Nationl guard” dan golongan tersebut besar peranannya dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah.



2.3      Militerisasi di Indonesia
a.                  Jalannya militerisme tenokrat
Militer Indonesia yang mulai terjun ke dunia bisnis sejak era revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia ini sebenarnya di pengaruhi oleh doktrin Dwi Fungsi ABRI yang di cetuskan oleh Jenderal Nasution . Tugas utama militer adalah berperang membela kedaulatan negara dan menjaga keamanan serta menjaga stabilitas negara dari pihak pihak yang berusaha untuk mengganggu ke tiga hal tersebut, tetapi pada kenyataannya profesionalisme militer tersebut sering tidak tercapai karena militer lebih suka terjun kedunia bisnis yang lebih menjanjikan dalam menghadapi masa depan karena pendapatan mereka bisa lebih terjamin dari pada hanya mengurusi keamanan negara dan stabilitas dari ancaman makar, dll.
Sebenarnya tugas militer itu dalam arti sederhana adalah untuk mendukung kepentingan dan aspirasi masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Tetapi pada kenyatannya yang terjadi di Indonesia tidak seperti itu, militer yang terjun kedunia bisnis dan berorientasi komersial, dengan tujuan menambag pendapatan militer, kemudian lambat laun hal itu di salahgunakan untuk kepentingan pribadi para perwira tinggi militer Orde Baru, dengan mengadakan kerja sama dengan pengusaha Cina, dll, membuat mereka lebih betah dalam dunia bisnis daripada memimpin pasukan pasukan militer tersebut.
Selain itu, etos komersial dengan cepat menjalar ke luar lingkungan perwira-perwira yang langsung berurusan dengan kepemimpiunan dengan perusahaan-perusahaan angkatan bersanjata. Demikian pula kepada perwira yang diangkat untuk menduduki jabatan dalam birokrasi pemerintahan, lalu terlibat bersama rekan-rekan keturunan Cina dalam kegiatan-kegiatan perusahaan pribadi, baik atas nama pengusaha keturunan Cina maupun atas nama keluarganya. Sedangkan para panglima daerah militer tidak jarang memiliki sumber dana pribadi yang mereka dapatkan dari para pengusaha, khususnya keturunan Cina.

b.                 Dampak-dampak akibat militerisme tenokrat
Dampak umum dari menurunnya profesionalisme militer akibat, militer terjun ke dunia bisnis adalah militer dalam hal ini TNI mendapat legistimasi dari rakyat karena berperan besar dalam pembangunan ekonomi, walaupun sebenarnya militer mendapat dana juga dari luar APBN, kerjasama antara pengusaha asing dengan perwira militer sebenarnya sangat merugikan rakyat kecil dan prajurit militer secara keseluruhan yang menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi, banyak perwira militer lain yang sebenarnya iri dengan kerja sama militer dengan pengusaha tersebut, dan untuk mengurangi rasa tidak suka tersebut, mereka yang terjun kedunia bisnis kemudian membantu mereka yang terjun ke lapangan.
Dampak khusus dari orintasi komersial yang di lakukan militer yang paling signifikan adalah menurunnya profesionalisme militer dalam menjalankan tugas utamanya menjaga keamanan dan stabilitas negara, karena mereka lebih asyik dalam melakukan bisnis militer yang menggiurkan dari segi pendapatan, seperti mengelola BUMN, yayasan, koperasi, dll. Bisnis telah menggeser tugas pokok militer, yaitu menjaga keamanan dengan baik. Dari hal tersebut sudah membuktikan bahwa untuk menjadi militer yang profesional sangat sulit untuk mempertahankannya.
Karena hal tersebut diatas reformasin ekonomi, sosial politik di Indonesia sebenarnya sangat sulit di lakukan karena militer masih dengan bebas melakukan bisnis yang kapitalis hanya menguntungkan diri mereka pribadi dan melupakan kesejateraan prajurit di bawahnya dan masyarakat bawah, hal ini sebenarnya bisa di lakukan kalau Dwi Fungsi ABRI di hilangkan dan peran ABRI di kembalikan seperti semula yaitu menjaga stabilitas, keamanan dari berbagai ancaman makar dan lain lain.



2.4       Peran militer di Amerika Latin dan di Indonesia pada era sekarang ini.
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah. Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer “military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan dengan organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan politik atau partai – partai politik.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya terdapat dua macam lembaga militer, yakni :
1.                  Bersifat politis, yakni dimana golongan militer memandang dirinya juga berfungsi politik dalam arti baik secara langsung maupun tidak langsung ikut dalam proses penentuan kebijaksanaan politik bangsa.
2.                  Bersifat professional, yakni golongan iliter dibatasi hanya pada profesi militer teknis dan tunduk pada pemerintahan atau pimpinan politik golongan sipil. Seperti Meksiko yang telah memiliki militer bersifat professional.
Semula, semua golongan militer di Amerika Latin berkeinginan langsung untuk memainkan fungsi politiknya pula. Namun setelah melalui beberapa kesulitan, akhirnya fungsi politik golongan militer dapat berangsur – angsur berubah menjadi fungsi militer professional hingga sekarang. Timbullah profesionalisme militer yang sekarang ada di Meksiko, dimana kekuasaan pemerintahan berada di tangan kekuatan sipil dan kekuasaan militer hanya merupakan unsur pembantu keamanan kepolisian.
Seperti kasus di Indonesia pada masa Orde Baru, sebuah filosofi pembangunan baru disusun untuk memperkuat klaim-klaim organik negara dan para pejabatnya terhadap otoritas yang tidak akuntabel. Dikatakan bahwa pemerintahan oleh “teknokrat” dan “para ahli” adalah hal yang perlu, sampai pembangunan sosial dan ekonomi Indonesia membuat para warganegara siap untuk berdemokrasi. Bersamaan dengan itu, organisasi-organisasi sipil dihalangi untuk memperoklamasikan prinsip atau agenda politik apapun yang berlawanan dengan klaim negara sebagai perwujudan negara sebagai kepentingan umum nasional.
Dari gejala di atas, seperti apa yang sudah kita cerminkan dengan keadaan militer yang ada di Amerika Latin, maka tantangan pelaksanaan fungsi pertahanan-keamanan dalam konteks kemacetan sistem, kiranya tidak dapat dilepaskan dari situasi umum yang ditandai dengan ciri khas adanya krisis akibat dari perubahan sosial dan mobilisasi kelompok-kelompok baru yang berlangsung cepat serta dihadapkan dengan adanya pengembangan institusi politik yang berjalan lamban. Inilah menjadi perhatian kita bersama. Dengan adanya penghujatan terus menerus kepada TNI dalam perannya dimasyarakat, akan mengakibatkan Indonesia menuju tempat jurang yang dalam untuk melakukan bunuh diri karena walau bagaimanapun peran TNI baik sebagai prajurit maupun sebagai manusia dimasyarakat saat ini sangat dibutuhkan terlebih. Kedepannya kita berharap TNI dapat selalu mengaktualisasikan diri terhadap perannya di masyarakat. Semoga mencerahkan.
Reformasi yang dilakukan oleh militer saat ini memang belumlah secara menyeluruh, di mana fakta sosial yang berbicara menunjukkan bahwa ternyata peran militer dalam mempengaruhi kebijakan masih cukup besar. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, di mana penguasa yang saat ini berlatar belakang miter masih menggunakan intervensi dalam bentuk kekerasan aparat dalam menstabilkan konstelasi politik yang ada, misalnya kasus-kasus yang terjadi di Aceh dan di Papua tidak terlepas dari rasionalisasi tugas dan fungsi militer dalam menciptakan kondisi aman dan damai, sehingga dengan mudahnya kekerasan aparat terjadi di mana-mana. Selain itu juga, dapat kita lihat bahwa fungsi output yang dijalankan saat ini belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya, di mana ketika lahir kebijakan penggusuran, penertiban pedagan kaki lima, dan sengketa tanah seperti yang terjadi di Makassar, dapat kita lihat bahwa masih tingginya peran militer dalam mempengaruhi konstelasi politik pemerintahan yang terbangun saat ini.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembaga politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.
Memang kita tidak dapat selamanya menyalahkan militer sebagai faktor utama keterpurukan bangsa ini. Oleh karena itu, kita sebagai warga sipil seharusnya juga menjankan fungsi control dengan baik, sehingga konstelasi politik yang terbangun dapat stabil. Selain itu juga, hendaknya diperjelas bahkan lebih dipertegas lagi posisi dan peran militer dalam sistem politik Indonesia agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam menjalankan tugas dan fungsinya, seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan demikian, jikalau hal di atas dijalankan sebagaimana mestinya, maka jalannya pemerintahan dan birokrasi di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.



















BAB 3. PENUTUP
3.1       Simpulan
Golongan militer merupakan faktor dinamisasi (bahkan faktor pendobrak) yang sangat menentukan dlam perjuangan melawan penjajah. Setelah perjuangan kemerdekaan selesai, mereka mengatur dirinya dalam organisasi – organisasi militer yang lebih sempurna. Setelah perang kemerdekaan yang dilanjutkan revolusi, atau perang saudara dalam negeri, golongan militer “military elite” merupakan satu – satunya golongan yang keluar dari kesulitan dengan organisasi dan disiplin yang jauh lebih baik dibanding dengan golongan politik atau partai – partai politik. Hal ini mempunyai  keterkaitan dengan jalannya Militer di Amerika Latin dan di Indonesia, yang dapat dikatakan sama mengenai fungsi Militernya.
Militer Indonesia yang mulai terjun ke dunia bisnis sejak era revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia ini sebenarnya di pengaruhi oleh doktrin Dwi Fungsi ABRI yang di cetuskan oleh Jenderal Nasution . Tugas utama militer adalah berperang membela kedaulatan negara dan menjaga keamanan serta menjaga stabilitas negara dari pihak pihak yang berusaha untuk mengganggu ke tiga hal tersebut, tetapi pada kenyataannya profesionalisme militer tersebut sering tidak tercapai karena militer lebih suka terjun kedunia bisnis yang lebih menjanjikan dalam menghadapi masa depan karena pendapatan mereka bisa lebih terjamin dari pada hanya mengurusi keamanan negara dan stabilitas dari ancaman makar, dll.
Seperti aturan yang jelas yang menegaskan bahwa militer harus professional dengan amanah konstitusi, dengan tidak mencampuri urusan politik pemerintahan selama tidak membahayakan negara bahkan jikalau harus masuk di dalamnya hendaknya melakukan integrasi ke dalam secara tidak langsung. Dengan demikian, jikalau hal di atas dijalankan sebagaimana mestinya, maka jalannya pemerintahan dan birokrasi di Indonesia akan senantiasa sesuai dengan amanah konstitusi dan tuntutan demokrasi di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Eep Saefullah Fatah, 2010, Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru: Manajemen Konflik Malari, Petisi 50, dan Tanjung Priok, Jakarta, Penerbit Burung Merak Press, hlm. 38-39.
Ibid., hlm. 117-118.
Mukmin, Hidayat. 1980. Pergolakan di Amerika Latin dalam Dasawarsa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia
Iswandi. 2000. Bisnis Militer Orde Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya (http://thafransisca.wordpress.com/2011/08/17/bisnismilite/)
Peter Hakim and Abraham Lowenthal, “Latin America’s Fragile Democracies,” Journal of Democracy,  Summer, 1991, hlm. 22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar